Membaca Sajak Anak Muda, Rendra


Today a reader, tomorrow a leader” – Margareth Fuller

Buku sudah saya anggap sebagai teman setia saya. Sedikit lebay memang, tapi itu masih kalah lebay dengan salah satu prolamator kita–Muhammad  Hatta, yang menurut beberapa orang saking cintanya dengan buku, maka buku dianggap sebagai ‘istri’ pertamanya. Menurut bung Karno dalam bukunya, “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” hal. 143, beliau mengambarkan sedikit tentang bung Hatta,
 “Hatta yang masih lajang itu adalah seorang lelaki yang mukanya menjadi merah bila berhadapan dengan seorang gadis. Ia tak pernah menari, tertawa dan menikmati kehidupan.” 

Keras betul ucapan bung Karno, mungkin seperti itulah sikap orang yang gemar membaca, yang menjadikan buku sebagai ‘istri’. Bung Hatta juga menikah ketika Indonesia sudah merdeka,  beliau menikah pada tanggal 18 November 1945 (usia 43 tahun) dengan mas kawin sebuat buku berjudul “Alam Pikiran Yunani” yang ditulisnya sendiri.

Mantap toh bung Hatta! ini semua tentang buku, buku dan buku. Saya ingin seperti bung Hatta dalam kencintaan terhadap buku.

Sebagai orang yang tak kerja juga tak kuliah, saya bersyukur dikaruniai kegemaran terhadap buku. Jadi walaupun berlama-lama di rumah, tak masalah buat saya karena saya tidak sendirian ada buku yang temani saya, ada buku yang memanagement strees saya. Dengan buku saya bisa ketawa, sedih, mengerutkan dahi, berfikir, merenung sampai pusing. Mungkin kalau tidak ada buku, sudah lama saya bunuh diri..hahaha lebay dikit.

Kemarin  karena saya mau main ke kampus (Depok) untuk legalisir ijazah dan transkrip nilai sekalian saja cari teman baru—buku. Maklumlah, penganggur tak punya uang, jadi liat-liat buku yang diobral di basement Gramedia Margonda. Ada yang menarik, 1 bulan yang lalu saya datang ke Gramedia dan lihat buku boigrafi Miranda Gultom, waktu itu harganya hanya 15ribu, tapi kemarin ketika saya lihat, harganya sudah 50ribu. Gile bener, harga naik ketika beliau jadi tersangka.  Waktu masih 15ribu saya memang berniat ingin membeli, tapi saya urungkan niat saya, karena buku ditulis dalam bahasa inggris.hahaha ketahuan deh..

Karena buku-buku obralan gramedia tidak ada yang menarik, akhirnya saya pergi ke toko buku di stasiun UI, disitulah saya cari-cari buku. Disana banyak buku yang bagus, meski kita harus pintar-pintar cari. Boleh jadi buku yang kita beli adalah barang yang sangat berharga, tapi boleh jadi juga buku yang kita dapat buku bajakan dengan kualitas memble.

Setelah saya lihat-lihat, akhirnya saya dapat buku bagus harganya pun terjangkau. Buku tersebut adalah “Potret Pembangunan Dalam Puisi”  karya WS. Rendra. Membaca puisi-puisi Rendra dalam buku ini saya seperti ditampar berkali-kali. Meski berbalut puisi yang sarat citarasa tapi kata-katanya tegas, lugas dan jelas. Salah satu puisi dari buku tersebut yang saya baca berulang-ulang adalah “Sajak Anak Muda”, puisi ini adalah realitas generasi sekarang, generasi saya, generasi yang kebingungan, generasi galau yang belum bisa move on.

“Sajak Anak Muda” 
Kita adalah angkatan gagap
yang diperanakan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi,
di dalam hal keadilan,
Karena tidak diajarkan berpolitik,
dan tidak diajar dasar ilmu hukum.
Kita melihat kabur pribadi orang,
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa. 
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar filsafat atau logika. 
Apakah kita tidak dimaksud
untuk mengerti itu semua?
Apakah kita dipersiapkan
untuk menjadi alat saja? 
Inilah gambaran rata-rata
pemuda tamatan SLA,
pemuda menjelang dewasa. 
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.
bukan pertukaran pikiran. 
Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,
dan bukan ilmu latihan menguraikan. 
Dasar keadilan di dalam pergaulan,
serta pengetahuan akan kelakuan manusia,
Sebagai kelompok atau sebagai pribadi,
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji. 
Kenyataan di dunia ini menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,
tidak bisa kita hubung-hubungkan,
Kita marah pada diri sendiri.
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya,
menikmati masa bodoh dan santai. 
Di dalam kegagapan,
kita hanya bisa membeli dan memakai,
tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin,
tetapi hanya bisa berkuasa,
persis seperti bapa-bapa kita. 
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.
Di sana anak-anak memang disiapkan
untuk menjadi alat dari industri.
Dan industri memang berjalan tanpa berhenti.
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa?
Kita hanya menjadi alat birokrasi!
Dan birokrasi menjadi berlebihan
tanpa kegunaan—
menjadi benalu di dahan.
Gelap. Pandanganku gelap. 
Pendidikan tidak memberi pencerahan.
Latiahan-latihan tidak memberi pekerjaan.
Gelap. Keluh kesahku gelap.
Orang yang hidup di dalam pengangguran. 
Apakah yang terjadi di sekitarku ini?
Karena tidak bisa kita tafsirkan,
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja. 
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini?
Apakah ini? Apakah ini?
Ah, di dalam kemabukan,
wajah berdarah
akan terlihat sebagai bulan. 
Mengapa harus kita terima hidup begini?
Seseorang berhak diberi ijasah dokter,
dianggap sebagai orang terpelajar,
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.
Dan bila ada tirani yang merajalela,
ia diam tak bicara,
kerjanya cuma menyuntik saja. 
Bagaimana?  Apakah kita akan terus diam saja?
Mahasiswa-mahasiwa ilmu hukum
dianggap sebagai bendera-bendera upacara,
sementara hukum dikhianati berulang kali. 
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi
dianggap bunga plastik,
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi. 
Kita berada didalam pusaran tatawarna
yang ajaib dan tidak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan kita luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara. 
Kita adalah angkatan gagap,
yang diperanakkan oleh angkatan kurangajar.
Daya hidup telah digantioleh nafsu.
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.
Kita adalah angkatan yang berbahaya. 
Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977

Setelah membaca puisi ini saya harus menyadari posisi saya sebagai kaum muda, bersiap untuk diwariskan oleh generasi tua sebuah negara yang kacau, amis dan penuh tikus.  Kemudian saya juga harus sadar saya sudah memilih untuk kuliah teknik, jadi saya harus kurangi baca puisi dan perbanyak belajar kalkulus. :)
Membaca Sajak Anak Muda, Rendra Membaca Sajak Anak Muda, Rendra Reviewed by Bilik Sukma on Wednesday, June 12, 2013 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.