Seribu Berita di Pagi Hari


Sewaktu kuliah, saya aktif membeli koran. Semua berubah, ketika negara digital menyerang.
Membaca pada awalnya bukan merupakan aktivitas yang saya jadikan hobi. Kalaupun saya membaca, bacaan yang saya baca tidak jauh dari buku pelajaran atau cerita bergambar yang ada di koran ibu kota.

Namun semua itu berubah ketika saya menginjak bangku perkuliahan. Saat kuliah seolah saya di paksa untuk membaca lebih banyak buku dan referensi. Berawal dari hanya gemar membaca kumpulan cerpen remaja berbentuk buku yaitu Lupus, kemudian sukses menyelesaikan membaca novel ayat-ayat cinta, tetralogi laskar pelangi, tetralogi buru, la tahzan, the secret, dan banyak lagi buku yang selesai saya baca. Tanpa sadar saya menjadi hobi akan membaca. Salah satu bacaan yang menjadi rutinintas ialah membaca koran.

Perjalanan bergonta-ganti merek koran yang saya baca merupakan kisah yang akan saya bagikan kepada pembaca semua.

Berawal ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, koran yang saya baca adalah Pos Kota. Kenapa Pos Kota ? Simple saja, Karena waktu itu bapak saya membaca Pos Kota. Halaman di Pos Kota yang paling saya gemari waktu itu adalah Lembergar (Lembaran Bergambar)

Sesuai dengan namanya yaitu lembaran bergambar, halaman tersebut berisi cerita bergambar kehidupan sehari-hari yang menggelikan. Tokoh-tokoh cerita bergambar yang saya ingat ada doyok, ali oncom, ableh, noni, asong, otoy dan tokoh lain yang sering berganti-ganti. Seiring beranjaknya usia dan memasuki masa pubertas, di koran Pos Kota saya tidak hanya membaca sebatas halaman Lembergar. Bacaanpun bertambah, Artikel yang tidak pernah absen membacanya adalah “Nah Ini Dia”. Sebuah warta yang selalu saja bercerita tentang skandal seks, mulai dari kuli bangunan hingga pejabat daerah. “Nah Ini Dia” mengajak pembaca --termasuk saya-- berimajinasi tentang konflik skandal yang beredar dimasyarakat. Kenakalan saya membaca “artikel” saya lanjutkan dengan mencari koran yang mewartakan berita dengan lebih “dahsyat”.

Peredaran koran gurem mulai banyak beredar, bahasa redaksinyapun tidak sesuai EYD. Menu berita yang di tawarkan selalu berurusan sekwilda (sekitar wilayah dada), selangkangan dan orgasme. Koran yang dimaksud adalah lampu merah, pos metro, non stop dll. Koran tersebutlah yang kadang-kadang saya beli untuk sekedar memenuhi rasa ingin tahu saya. Halaman yang paling di gemari yaitu yang berisi hotline gadis-gadis manja. Aih, gadis yang menggemaskan...hihihi!!!

Di bangku kuliah saya mulai insyaf dan sadar...hehehe.. beneran lho..!!!
Koran bukan lagi sekedar media hiburan untuk pemuas dahaga nafsu nakal. Tapi merupakan kebutuhan akan informasi baik nasional maupun internasional.

Saat saya semester 1, koran yang saya baca adalah Kompas Update. Koran Kompas sore seharga seribu rupiah. Murah bukan? Harga yang sama waktu itu dengan koran mesum lampu merah. Koran tersebut saya beli di stasiun UI.
Oia saya mahasiwa Politeknik Negeri Jakarta (d/h POLTEK UI) tetep... Pengen di bilang anak UI..hehehe..

Sehabis pulang kuliah, sore harinya saya tidak pernah absen membeli koran Kompas Update. Saya membacannya saat sampai dirumah. Biarpun namanya Update tapi tetap saja contentnya koran Kompas pagi, sedikit basi memang tapi tak apalah masih relevan kok dari pada tidak sama sekali.
Pada suatu sore, ketika saya membeli Kompas Update terdapat sebuah angket yang harus diisi oleh pembaca. Angket tersebut berisi rangkaian pertanyaan untuk pembaca, yang menanyakan seberapa sering membeli dan membaca koran Kompas Update. Bertanya-tanya dalam hati gerangan apa yang terjadi. Mengapa di dalam koran terdapat angket tersebut.

Tak berapa lama berselang akhirnya jawaban akan pertanyaan tersebut muncul. Angket tersebut merupakan sebuah pertanyaan akan harga kertas yang naik. Yang juga berdampak pada naiknya harga Kompas Update. Yang awalnya berharga seribu menjadi dua ribu rupiah. Membaca Kompas Update hanya bertahan selama 1 semester. Kenaikan 100% tersebut memberatkan saya. Dan dengan berat hati saya berganti Koran dengan membaca Koran tempo.

Koran tempo yang berukuran lebih kecil di bandingkan Kompas Update tapi tak kalah dalam isi berita. Yang membedakannya adalah Koran tempo khusus kereta berharga seribu rupiah. Kalau Kompas Update yang berharga seribu hanya ada saat sore hari, tapi Koran tempo khusus kereta berharga seribu sejak pagi hari. Sehingga saya bisa membaca Koran pagi dengan harga seribu. Secara rutin saya memebeli Koran tampo hingga 1 tahun lebih lamanya. Namun suatu ketika saat saya mengeluarkan uang seribu dari dalam kantong sang penjual kereta di emperan stasiun UI meminta saya untuk menambah lima ratus rupiah, karena harga tempo khusus kereta sudah naik menjadi seribu lima ratus. Kembali kenaikan harga 50% Koran tempo membuat saya menutus hubungan dari membaca Koran tempo. Setahun lebih kebersamaan kita harus berakhir.. Hiks.. Hiks.. T-T.. bahkan sekarang koran Tempo seharga dua ribu rupiah.

Ternyata eh ternyata masih ada Koran yang berkualitas dengan harga seribu rupiah yaitu Koran media Indonesia (MI) dan Koran Jakarta. Saya memutusakan untuk berlangganan Koran MI. Koran mi berukuran sama dengan Kompas. Bedanya editorial MI selalu dikupas pagi hari pukul 6 pagi di stasiun metro tv. Sehingga membuat sedikit mengerti maksud dari editorial yang disampaikan langsung oleh pimpinan redaksi. Tapi ada satu hal yang saya sedikit kurang nyaman saat membeli Koran mi, hal ini berkaitan dengan stempel berukuran besar yang tercetak dalam halaman depan bertuliskan Rp. 1000 khusus kereta. Padalah di Koran Kompas Update dan Tempo, dulu tak berstempel.

Akhir-akhir ini karena saya sering terlambat masuk kelas, jalan di areal depan stasiun pasti macet. Hal tersebut membuat saya sedikit repot untuk mencari tempat parkir dan berjalan menuju penjual koran, kenyataan ini berdampak pada tidak rutin lagi membawa seribu berita di pagi hari ke dalam kelas. Membawakan sumber informasi kepada pembaca semua yang seharga seribu perak. Tapi besok saya berusaha untuk rutin membawa seribu berita ke dalam kelas.

Oia untuk catatan , kalo selesai baca korannya di lipet lagi dan di kembalikan ke saya ya. Soalnya saya masih mau baca koran itu di rumah dan mau saya simpan untuk suatu hari nanti saya jadikan referensi. Terima kasih ya..!!!

Jadikan Membaca Sebuah Kebudayaan Bangsa.


PS: Facebook on this day mengingatkan saya pada tulisan ini. tulisan yang saya buat 07 November 2009.

Seribu Berita di Pagi Hari Seribu Berita di Pagi Hari Reviewed by Bilik Sukma on Sunday, November 12, 2017 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.